Fiqih Perihal Pernikahan

Dan jikalau kau takut tidak akan sanggup Berlaku adil terhadap  Fiqih Tentang Pernikahan

Islam menganjurkan perkawinan. Islam tidak membenarkan aliran hidup (tidak kawin) yang diyakini oleh para rahib (pendeta). Allah menegaskan dalam al-Qur’an :

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا (٣)

“Dan jikalau kau takut tidak akan sanggup Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kau mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kau senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jikalau kau takut tidak akan sanggup Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kau miliki. yang demikian itu yakni lebih erat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS al-Nisa’ : 3)

Nikah juga disyariatkan oleh Allah seumur dengan perjalanan sejarah manusia. Sejak nabi Adam dan Siti Hawa, nikah sudah disyariatkan. Pernikahan Nabi Adam dan Siti Hawa di surga yakni aliran pertama dalam Islam.

Secara medis, pernikahan sanggup mengatakan efek konkret bagi kesehatan. Sebab, sperma bisa keluar secara normal. Bila sperma yang lama tidak keluar maka akan berdampak negatif bagi kesehatan tubuh.

Hukum menikah ada tiga :

Pertama : Sunnat, yaitu bagi orang yang sangat butuh untuk menyalurkan hasrat seksualnya, dan ia tergolong orang yang bisa membiayai perkawinan, menyerupai mengatakan mas kawin (mahar) dsb. Sedangkan orang yang tidak bisa membiayai pernikahan, sedangkan dirinya butuh menyalurkan hasrat seksualnya, maka sebaiknya jangan menikah terlebih dahulu. Dan untuk membendung hasratnya, ia dianjurkan berpuasa.

Kedua : Makruh, yaitu bagi orang yang tidak ingIn menikah sedangkan dirinya tergolong orang yang tidak bisa membiayai perkawinan.

Ketiga : Wajib, yaitu bagi orang yang sebelumnya punya nadzar (janji) untuk kawin, sedangkan ia tergolong orang yang bisa mengatakan mas kawin.

a.Peminangan

Sebelum melamar, pria yang hendak menikah disunnatkan melihat terlebih dahulu terhadap calon perempuan yang dikehendakinya. Diceritakan bahwa Rasulullah pernah menyuruh Mughirah untuk melihat calon perempuan yang hendak dikawininya.

Menurut ulama fqih, tujuan melihat terlebih dahulu ini antara lain untuk mengetahui huruf kepribadian dari calon istrinya. Demikian juga sunnat bagi calon perempuan melihat calon suaminya, meskipun ia bukan mahram.

Bagian tubuh yang boleh dilihat oleh calon laki dari calon perempuan hanyalah wajah dan kedua telapak tangan saja. Sedangkan calon perempuan boleh melihat seluruh tubuh calon suaminya yang bukan aurat.

Dengan melihat wajah, seseorang sanggup mengetahui kecantikan calon istrinya; dengan melihat telapak tangan, ia sanggup mengetahui kehalusan tubuhnya. Jika tidak memungkinkan maka cukup menyuruh perempuan lain untuk meneliti dan menjelaskan hasilnya.

Melihat calon perempuan dilakukan sebelum melamar, sesudah memiliki maksud sungguh-sungguh untuk menikahinya. Apabila perempuan tadi sudah resmi menjadi tunangan (sudah dilamar) maka haram melihat wajahnya, apalagi dibawa bepergian (khulwah).

Untuk melihat calon tidak harus ada izin dari perempuan atau walinya. Sudah cukup izin dari syariat. Selain itu, bila ia izin terlebih dahulu, boleh jadi perempuan itu akan bersolek terlebih dahulu, hal ini sanggup menggagalkan tujuan dianjurkannya melihat calon perempuan yang hendak dinikahi, yakni mengetahui secara terang kepribadian (karakter tubuh) dari perempuan.

b.Perempuan yang dipinang

Dalam persoalan pinangan, perempuan ada tiga macam :
1.Perempuan yang masih gadis. Perempuan yang belum memiliki suami boleh dipinang dengan menggunakan ungkapan sharih atau kinayah. Ungkapan sharih yakni segala bentuk perkataan yang mengatakan secara terang impian untuk menikahi, menyerupai “saya ingin menikahi kamu”. Sedangkan ungkapan kinayah yakni ungkapan yang mengatakan keinginannya menikahi sekaligus juga bisa mengatakan arti yang lain, menyerupai “Betapa cantiknya paras wajahmu” atau “Banyak sekali pria yang ingin bersanding di pelaminan denganmu”. Ungkapan kinayah ini menurut firman Allah yang berbunyi :

وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ

“Dan tidak ada dosa bagi kau meminang wanita-wanita itu dengan sindiran.....” (QS al-Baqarah : 235)

2.Perempuan yang sedang melakukan iddah, baik iddah thalaq, fasakh (putusnya kekerabatan nikah karena suaminya mati) atau iddah karena wathi’ syubhat (hubungan seks keliru orang). Perempuan semacam ini hanya bisa dipinang dengan ungkapan kinayah saja.
Hukum bolehnya pinangan kinayah ini tidak berlaku bagi perempuan yang sedang melakukan iddah raj’i (iddah thalaq yang bukan thalaq tiga), karena pelakunya masih berstatus sebagai istri orang atau dengan kata lain masih memiliki ikatan perkawinan dengan suami pertama.

3.Perempuan yang sudah dipinang orang lain. Haram melamar perempuan yang sudah diketahui telah mendapatkan lamaran dari orang lain (sudah bertunangan), kecuali jikalau peminang pertama jelas-jelas sudah tidak menghendaki perempuan itu lagi, atau diberi izin oleh peminang pertama untuk melamar perempuan itu.
Orang pria yang perempuannya masih melakukan iddah raj’i tidak diperkenankan melamar istrinya lagi, baik dengan cara yang sharih (jelas), atau kinayah (sindiran). Dia boleh langsung kembali (ruju’) kepada istrinya yang semula.

Prosesi peminangan

Sebelum meminang atau mendapatkan pinangan disunnatkan membaca khutbah terlebih dahulu. Contoh lamaran yang didahului dengan khutbah yakni :

a.Dari pihak laki-laki
الحمد لله الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ اُوصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ أَمَا بَعْدُ : فَقَدْ جِئْتُكُمْ رَاغِبًا فِي كَرِيْمَتِكُمْ اَوْ فَتَاتِكُمْ.

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam agar dilimpahkan kepada Rasulullah saw. Aku berpesan kepada kalian dan diriku untuk selalu takut kepada Allah. Berikutnya, saya datang kepada tuan-tuan karena menyukai putri tuan-tuan, dan kami berniat untuk meminangnya.

b.Dari wakil pihak laki-laki
الحمد لله الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ اُوصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ أَمَا بَعْدُ : فَقَدْ جِئْتُكُمْ مُوَكِّلِيْ او جِئْتُكُمْ عَنْهُ خَاطِبًا كَرِيْمَتَكُمْ

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam agar dilimpahkan kepada Rasulullah saw. Aku berpesan kepada kalian dan diriku untuk selalu takut kepada Allah. Berikutnya, saya datang kepada tuan sebagai wakil dari …. Untuk meminang putri tuan …..

c.Jawaban dari pihak wali perempuan (menerima lamaran)
الحمد لله الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ اُوصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ فَلَسْتُ بِمَرْغُوْبٍ عَنْكَ

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam agar dilimpahkan kepada Rasulullah saw. Aku berpesan kepada kalian dan diriku untuk selalu takut kepada Allah. Kamupun juga tidak dibenci (diterima tunangannya).

Rukun nikah

Rukun nikah ada lima, yaitu suami, istri, wali, dua saksi dan sighat (akad).
1.Suami. Syarat pria yang akan kawin yakni : 1) tidak sedang melakukan ihram. 2) kehendaknya sendiri. 3) tahu nama dan nasab perempuan yang akan dikawini. 4) di ta’yin (orangnya jelas), artinya calon suami tidak boleh salah satu dari dua orang. 5) bukan mahram dari calon istri.
2.Istri. Syarat perempuan yang dikawin yakni : 1) bukan istri orang lain. 2) tidak sedang iddah. 3) bukan mahram. 4) di ta’yin (orangnya jelas), artinya calon istri tidak boleh salah satu dari dua orang.
3.Wali. Syaratnya yakni : 1) kehendaknya sendiri. 2) baligh. 3) punya akal. 4) laki-laki. 5) merdeka. 6) tidak fasiq. Apabila walinya fasiq kemudian bertaubat dengan benar maka ia boleh menikahkan putrinya pada waktu itu juga.
4.Dua saksi. Syaratnya orang yang menjadi saksi dalam nikah yakni : 1) tidak berstatus ganda sebagai wali. 2) paham terhadap sighat ijab (akad penyerahan dari wali) dan qabul (akad penerimaan dari suami). 3) ahl al-syahadah/layak menjadi saksi (laki-laki, merdeka dan adil). Sedangkan saksi yang tidak diketahui tingkah lakunya dalam keseharian (apakah adil atau tidak), maka sunnat disuruh bertaubat terlebih dahulu saat pelaksanaan akad.
5.Sighat. Yaitu ijab (penyerahan) dari wali dan qabul (penerimaan) dari suami. Antara ijab dan qabul tidak boleh dipisah dengan kata-kata atau perbuatan yang tidak ada hubungannya dengan proses ijab dan qabul.

Lafadz ijab hanya boleh menggunakan lafadz yang diambil dari kata dasar (masdar) تزويج dan إنكاح menyerupai زوّجْتك dan أنكحتك. Sedangkan lafadz qabul misalnya menyerupai قبلت نكاحها atau نكحتها .
Sighat ijab dan qabul boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun, asal terjemahannya menggunakan kata-kata yang terang sebagai sighat nikah didaerah tersebut, tidak mengandung arti lain selain nikah. Dan, terjemahan tersebut dimengerti oleh wali, kedua saksi, dan mempelai laki-laki.

Contoh sighat ijab menggunakan bahasa indonesia dari pihak wali : “Aku kawinkan putriku.....”. sedangkan qabul dari pihak pengantin pria : “Saya terima nikahnya......”.
Sedangkan cara nikah orang yang tidak bisa berbicara yakni menggunakan bahasa instruksi yang sanggup dipaham oleh orang banyak.

Urutan wali dalam nikah

Urutan kerabat yang boleh menjadi wali nikah yakni sebagai berikut : Ayah, kakek dari ayah, saudara tunggal ayah-ibu, saudara tunggal ayah, anak saudara tunggal ayah-ibu dan seterusnya. Saudara ayah (paman) yang tunggal ayah-ibu, Saudara ayah (paman) yang tunggal ayah, anak dari Saudara ayah yang tunggal ayah-ibu, anak dari Saudara ayah yang tunggal ayah, dan seterusnya menyerupai dalam urutan dalam waris.

Penentuan siapa yang menjadi wali disesuaikan dengan urutan diatas. Tidak boleh pindah pada wali yang lebih jauh jikalau wali yang lebih erat masih ada, kecuali bila yang lebih erat tidak memenuhi syarat menyerupai fasiq atau gila, maka boleh pindah pada wali yang lebih jauh.

Bila seluruh wali tidak ada, maka yang berhak menjadi wali yakni hakim. Demikian juga bila walinya ada, tapi ia sedang bepergian dalam jarak qashar (81 km), sedang berada dalam tahanan sehingga tidak mungkin untuk mengawinkan, atau tidak mau mengawinkan.

Bila disuatu tempat tidak ada hakim atau ada tetapi masih minta uang pungli untuk mengawinkan, maka boleh menunjuk hakim sendiri (muhakkam) dari orang yang merdeka dan adil.

Bagi wali mujbir (wali yang berhak memaksa, yakni ayah dan kakek dari ayah), boleh mewakilkan sekalipun tidak mendapatkan izin dari perempuan yang hendak dinikahkan. Sedangkan selain wali mujbir boleh mewakilkan jikalau mendapat izin dari perempuan yang hendak dinikahkan.

Dalam pelaksanaan akad, wakil wali harus menyebutkan kata-kata موكلي  atau وكالة عنه (saya sebagai wakil dari wali).

Calon suami juga boleh mewakilkan akadnya (qabul) kepada orang lain. Contohnya : قبلت نكاحها له
(saya mendapatkan nikah si perempuan untuk si …………..

Sunnat-sunnat nikah

Hal-hal yang disunnatkan dalam nikah yakni :
1.Niat menjalankan sunnah Nabi saw
2.Menjaga keturunan
3.Membaca khutbah sebelum pelaksanaan akad, sebelum ijab wali. Khutbah boleh dibaca siapa saja.
4.Sebelum ijab membaca :
أزوجك على ماأمر الله به من امساك بمعروف اوتسريح بإحسان
5.Setelah komitmen mendoakan kedua mempelai dengan :
بارك الله لك وبارك عليك وجمع بينكما في خير
6.Akad dilaksanakan di masjid.
7.Akad dilaksanakan hari Jum’at.
8.Dilaksanakan bulan Syawal.
9.Jima’ dibulan Syawal.

Contoh akad
a.Ijab (penyerahan) dari pihak wali
أنكحتك وزوجتك بنتي ..... بمهر ....... حالا (مؤجلا)
“kukawinkan kepadamu putriku yang bernama …….. dengan maskawin sebanyak ……. Kontan/tempo”.

b.Qabul (penerimaan) dari pihak suami
قَبِلْتُ نِكَاحَهَا بِالْمَهْرِ الْمَذْكُوْرِ
“aku terima kawinnya dengan maskawin yang telah disebut”.

c.Contoh khutbah nikah
Khutbah Nabi saat mengawinkan putrinya Fathimah ra dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra :
الحمد لله المَحْمُوْدِ بِنِعْمَتِهِ الْمَعْبُوْدِ بِقُدْرَتِهِ الْمُطَاعِ بِسُلْطَانِهِ الْمَرْهُوْبِ مِنْ عَذَابِهِ وَسَطْوَتِهِ النَّافِذِ أَمْرَهُ فِي سَمَائِهِ وَأَرْضِهِ الَّذِي خَلَقَ الْخَلْقَ بِقُدْرَتِهِ وَسَيَّرَهُمْ بِأَحْكَامِهِ وَمَشِيْئَتِهِ وَجَعَلَ الْمُصَاهَرَةَ سَبَبًا لَاحِقًا وَأَمْرًا مُعْتَرِضًا أَوْ شَجَ بِهِ اْلأَنَامِ وَأَكْرَمَ بِهِ الْأَرْحَامِ فَقَالَ عَزَّ مِنْ قَائِلٍ : وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيْرًا وَلِكُلِّ قَدَرٍ أَجَلٌ وَلِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ.

Maskawin (Mahar)

Mahar yakni sesuatu yang yang wajib diberikan karena nikah dan wathi’ syubhat.
Dalam konteks nikah, orang yang wajib membayar maskawin yakni suami. Mahar sunnat disebutkan dalam akad, jikalau tidak maka makruh.

Tidak ada batas minimal/maksimal bagi besarnya mahar. Semua hal (berbentuk barang/jasa) yang boleh dijadikan tsaman (harga) sanggup dijadikan mahar. Namun, yang sunnat menyerupai yang telah diajarkan Nabi saw, mahar tidak kurang dari 10 dirham (26,75 gr) dan tidak lebih dari 500 dirham (1337,5 gr).

Mahar tidak harus berbentuk materi (uang, barang/benda), tapi bisa juga berupa jasa yang terang bermanfaat menyerupai mengajar al-Qur’an, menjahit pakaian dsb.

Walimah

Walimah yakni perbuatan yang dilakukan karena mendapat kegembiraan baru, menyerupai nikah dan khitan.

Dalam konteks nikah, walimah bisa dilakukan sejak pelaksanaan komitmen nikah, tapi yang lebih utama dilaksanakan sesudah jima’. Demikian menurut Imam Subki yang dikutip dari Imam al-Baghawi.
Menurut al-Dumairi waktu walimah bagi yang sudah melakukan jima’ yakni hingga tiga hari untuk istri janda; hingga tujuh hari untuk perempuan yang masih perawan.

Bagi kelas ekonomi menengah ke atas (musir), walimah minimal yakni satu ekor kambing; sementara bagi orang yang ekonominya menengah kebawah  (mu’sir) yakni semampunya.
Bila kita diundang walimah nikah, maka wajib menghadiri. Tapi, jikalau kita diundang orang yang mengadakan walimah selama tiga hari, maka kita wajib menghadiri pada hari pertama, hari kedua sunnah, dan hari ketiga makruh.

Hukum wajib diatas apabila walimahnya memenuhi ketentuan sebagaimana berikut:

  1. Yang diundang tidak hanya orang-orang kaya.
  2. Di tempat walimah tidak terdapat hal-hal yang melanggar syara’ menyerupai terjadinya campur baur antara pria dan perempuan.
  3. Undangan yang datang aman dari segala bentuk gangguan.


Thalaq

Thalaq yakni memutus ikatan perkawinan dengan menggunakan kata thalaq atau sesamanya.
Meskipun bergurau, kata thalaq tetap terjadi, jikalau disampaikan oleh suami yang mukallafkepada istrinya yang belum ba’in (thalq tiga atau iddah sudah habis).

Thalaq tidak terjadi bila dilakukan oleh anak kecil, orang tidur, orang yang dipaksa, juga orang gila/tidak punya akal, kecuali jikalau akalnya hilang karena kecerobohan dirinya menyerupai orang mabuk karena minum khamr.

Dari segi hukum, thalaq dibagi lima:

  1. Wajib, menyerupai thalaqnya orang yang bersumpah ila’. Ila’ yakni seorang suami bersumpah tidak akan mewati’ istrinya dalam waktu lebih empat bulan. Ia tetap tidak mau wati’, maka yang harus menjatuhkan thalaqnya yakni hakim.
  2. Haram, menyerupai thalaq bid’ah yaitu mencerai istri yang sudah pernah disetubuhi, dithalaq saat sedang haid dengan tanpa imbalan (khulu’) atau dithalaq saat tidak haid (masa suci), tapi dimasa suci itu ia disetubuhi.
  3. Sunnah, menyerupai thalaqnya pria yang tidak bisa memenuhi hak-hak istri.
  4. Makruh, yaitu mencerai istri yang memiliki hal-ihwal baik.
  5. Mubah/boleh, menyerupai thalaqnya suami yang tidak bergairah lagi kepada istrinya.


Sedangkan dari segi bentuk kalimat yang digunakan, thalaq dibagi dua:

  1. Thalaq sharih, yaitu menggunakan kalimat yang tidak memiliki kemungkinan makna selain memutus ikatan perkawinan, menyerupai “saya cerai kamu” 
  2. Thalaq kinayah, yaitu menggunakan kalimat yang memiliki kemungkinan makna selain memutus ikatan perkawinan, menyerupai “kamu haram bagi saya” atau “saya tidak butuh kamu” dan lain sebagainya. Kalimat kinayah bisa membuahkan thalaq, apabila  disertai maksud untuk menthalaq (niat).


Rujuk (kembali)

Boleh rujuk (kembali) kembali pada istri yang dithalaq satu atau dua, cukup menggunakan kalimat ruju’ menyerupai saya kembali kepadamu (tidak usah komitmen kawin lagi). Demikian itu, apabila istrinya dalam waktu melaksankan iddah. Bila iddahnya sudah habis, maka jikalau mau kembali harus menggunakan pernikahan lagi. Sedang thalaq yang ia miliki melanjutkan thalaq sebelumnya telah dijatuhkan kepada istrinya. Jadi, jikalau sebelumnya ia sudah menthalaq satu kali, maka jatah thalaq tinggal dua; bila sebelumnya sudah dua kali maka tinggal satu; jikalau sudah tiga kali maka jatahnya habis.

Seorang mencerai istrinya dengan tiga thalaq, ia tidak boleh kembali lagi kepadanya, kecuali bila memenuhi lima ketentuan:

  1. Selesai melakukan iddah dari thalaq yang di jatuhkan kepadanya.
  2. Sudah kawin dengan pria lain (mahallil).
  3. Sudah dijima’ (disetubuhi) oleh suami yang kedua.
  4. Sudah ba’in dari suami kedua (thalaq tiga atau iddah sudah habis).
  5. Selesai melakukan iddah dari suami yang kedua.


Iddah 

Istri yang dithalaq harus melakukan iddah, bila ia sudah pernah disetubuhi oleh suaminya. Pada saat iddah karena ditinggal mati suaminya perempuan tidak boleh melakukan :

  1. Memakai perhiasan 
  2. Memakai parfum
  3. Memakai celak, pacar
  4. Keluar rumah kecuali hajat

Dari segi bentuk putusnya ikatan perkawinan, perempuan yang melakukan iddah ada dua:

  1. Melakukan iddah karena suaminya meninggal. Bila ia sedang hamil, maka masa iddahnya hingga melahirkan. Bila tidak hamil, maka masa iddahnya selama empat bulan sepuluh hari.
  2. Melakukan iddah karena dicerai suaminya. Bila ia sedang hamil maka hingga melahirkan. Bila tidak hamil, maka dipilah: 1) Bila ia perempuan yang haid maka masa iddahnya tiga kali masa suci; 2) bila ia masih kecil (belum haid) atau sudah tidak haid lagi (ayisah) maka masa iddahnya tiga bulan.

Belum ada Komentar untuk "Fiqih Perihal Pernikahan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel