Tentang Thaharah Atau Bersuci

 baik yang bersifat kongkrit ibarat kotoran yang menempel di tubuh Tentang Thaharah atau Bersuci

Pengertian Thaharah

Thaharah secara etimologi (bahasa) yakni bersih dari segala hal, baik yang bersifat kongkrit ibarat kotoran yang menempel di badan, atau bersifat absurd (tidak kelihatan mata) ibarat kotoran hati, sombong, dengki, riya’ dan berbagai sifat-sifat tercela lainnya. Dalam satu hadist di sebutkan :

إنَّ اللهَ نَظِيْفٌ يُحِبُّ النَّظَافَةَ
Allah itu bersih dan menyukai kebersihan

Sedangkan thaharah dalam pengertian syariat yakni melakukan sesuatu yang menjadi karena bolehnya melakukan segala bentuk ibadah, baik wajib atau sunnah ibarat shalat dan membaca al-qur’an.

Sarana Thaharah

Benda yang mampu dibuat bersuci ada empat:

  1. Air. Dasarnya yakni nash al-qur’an yang artinya: “Aku turunkan atas kalian air dari langit semoga kalian mampu bersuci dengannya” (Al-anfal ayat 11). Juga menurut perbuatan nabi, diriwyatkan nabi pernah berwudhu’ dengan menggunakan air dari sumur budha’ah.
  2. Debu. Dasarnya yakni firman allah yang artinya: “jika kalian tidak menemukan air maka bertayamumlah” ( al-Nisa’ ayat 43 ). Juga menurut hadist yang diriwayatkan oleh imam muslim: Nabi muhammad saw bersabda : “ dijadikan untuk kita (ummat muhammad) bumi sebagai masjid dan debunya sebagai alat bersuci ( menyucikan).
  3. Batu. Dasarnya yakni berbagai hadist nabi Muhammad saw, di antaranya: “Jika kalian final membuang air besar (kotoran) maka istinja’-lah dengan menggunakan tiga batu”.
  4. Alat yang mampu menyamak. Dasarnya yakni hadits nabi : pada suatu hari saat sedang berjalan, nabi menemukan seorang yang sedang membuang bangkai kambing milik siti maimunah. Lantas nabi menegornya: “ kenapa kalian tidak ambil saja kulitnya kemudian kalian samak dan memanfaatkannya. Mereka berkata, “ini sudah menjadi bangkai wahai rosul”. Lalu nabi bersabda, “Keharaman bangkai itu hanya untuk di makan”.


Macam-macam air

Dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i, air dibagi menjadi empat:

  1. Air suci yang mampu menyucikan dan tidak makruh di gunakan. Jenis ini yang paling bagus. Selain suci , juga mampu menyucikan benda lain, memiliki banyak manfaat, ibarat menghilangkan najis, hadats dan kebutuhan hidup sehari-hari. Air sejenis ini di sebut air mutlaq. Maksud dari air mutlaq yakni air yang lepas dari embel-embel/batas (qayd), hanya disebut “Air”tanpa embel-embel. Atau ada pelengkap tapi tidak menetap (bisa terlepas) karna mengikuti wadah atau tempat, misalnya “Air sumur” atau “ Air laut” ; seandainya airnya dipindah kedalam gelas, maka berubah “Air gelas”. Beda halnya dengan air yang memiliki pelengkap menetap (tidak mampu lepas) ibarat “air semangka” maka tidak mampu disebut air mutlaq.
  2. Air suci dan juga menyucikan tapi makruh digunakan untuk tubuh, yaitu ma’ al-musyammas (air yang di panaskan dengan sinar matahari dan wadahnya bukan dari emas dan perak). Air musyammas mampu di gunakan untuk mencuci pakaian, Tapi jikalau digunakan untuk menyucikan atau membersihkan tubuh maka hukumnya makruh. Sebab, ditengarai mampu mengakibatkan penyakit barosh (semacam kusta). Hukum makruh ini mampu berubah apabila indikasi kemakruhannya sudah hilang (sudah menjadi dingin) . Syekh Nawawi al-Bantani dalam nihayat al-Zain memberi beberapa syarat untuk makruhnya menggunakan air musyammas, yaitu: 1). Berada di sebuah daerah yang suhu panasnya sangat tinggi. Hukum makruh itu tidak berlaku di daerah-daerah bercuaca hambar atau stabil; 2). Digunakan pada waktu panas; 3). Masih ada air yang tidak musyammas; 4). Waktu tidak mendesak (mepet). Jika waktu shalat sudah hampir habis tapi belum menemukan air yang tidak musyammas maka tidak makruh, bahkan mampu wajib menggunakan air musyammas. Ketentuan ini berlaku bila penggunaan musyammas tidak mengakibatkan (atau di perkirakan menimbulkan) efek yang membahayakan tubuh. Jika demikian. Maka aturan menggunakannya menjadi haram dan ia wajib bersuci dengan cara tayammum; 5). Tidak nyata-nyata membawa dampak negatif bagi pengguna air tersebut dan juga tidak ada dugaan kuat mengenai efek negatif itu. 
  3. Air suci tapi tidak mampu menyucikan benda lain, yaitu air musta’mal (air yang sudah di gunakan bersuci). faktor yang menjadikan air menjadi musta’mal ada dua; pertama, air sedikit (tidak sampai dua kullah) yang sudah di buat menghilangkan hadast atau najis, air yang digunakan menghikangkan najis dihukumi musta’mal bila tidak berubah dari ukuran semula setelah menghitung air yang di serap oleh benda yang di basuh. Kedua, Air yang sudah berubah salah satu sifatnya (rasa, warna, bau) karena bercampur  benda suci (mukholit) dengan perubahan yang mampu merusak nama air, baik perubahan itu mampu dihindari ibarat berubah dengan sabun atau dengan perkiraan, ibarat berubah dengan sesuatu yang sifatnya sama dengan air. Air yang berubah karena diam yang lama tetap mampu menyucikan demikian juga bila berubah dengan lumut, debu, garam laut, dan kotoran kaki di jeding tempat wudhu’. Air musta’mal mampu kembali menjadi air yang menyucikan bila di tambah dengan air lain sehingga tidak kurang dari dua kullah dan menghilangkan sebab-sebab perubahan sifat air di atas.
  4. Air najis, yaitu: 1) air yang tidak sampai dua qullah dan terkena najis, baik sampai mengubah sifat air atau tidak; 2) mencapai dua qullah atau lebih dan terkena najis sampai mengubah salah satu sifat air itu (warna, rasa atau bau). Air najis mampu kembali menjadi air yang menyucikan bila di tambah dengan air lain sehingga tidak kurang dari dua qullah atau menghilangkan perubahan sifat air di atas.


Ukuran Air

Untuk keterangan mengenai kaitan air dengan thaharah sangat penting dijelaskan mengenai ukuran air sedikit dan air banyak. Air sedikit yakni air yang tidak sampai dua qullah. Sedangkan air banyak yakni air yang sudah mencapai ukuran dua qullah.

Jika diperkirakan dengan ukuran liter, dua qullah = 190 liter (satu qullah = 95 liter). Menurut kiai Ma’shum dalam Fath al-Qadir fi ‘Aja’ib al-Maqadir, dua qullah menurut kati menurut al-Nawawi = 174,580 liter atau sama dengan 55,9 cm (PxLxT), sedangkan dua qullah menurut kati menurut al-Rafi’i = 176,245 liter atau 56,1 cm.

Obyek Thaharah

Thaharah (bersuci) ada dua macam : bersuci dari kotoran atau najis dan bersuci dari hadats.
a. Bersuci dari Najis
Allah berfirman :
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
Dan pakaianmu bersihkanlah (QS al-Muddatstsir : 4)
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri” (QS al-Baqarah : 222)
الطَّهُوْرُ شَطْرُ اْلإِيْمَانِ
Bersuci merupakan separuh dari iman.

Menurut arti bahasa najis yakni sesuatu yang menjijikkan. Sebagai istilah syara’ najis yakni sesuatu yang mampu mencegah sahnya shalat pada saat tidak ada rukhsah (keringanan yang memperbolehkan melakukan shalat dengan najis).

Berdasarkan berat-tidaknya, najis itu dikelompokkan menjadi tiga :

  1. Najis mughallazhah, yaitu anjing, babi, dan binatang lain yang lahir dari relasi kedua binatang tersebut baik dengan binatang sejenis atau hewan-hewan lain.
  2. Najis makhaffafah, yaitu kencingnya bayi laki-laki yang belum mengkonsumsi masakan apapun selain ASI (Air Susu Ibu) dan belum umur 2 tahun.
  3. Najis Mutawassithah, yakni najis selain yang diatas, ibarat kotoran dan kencing hewan. Sedangkan menurut sifatnya, najis di bagi menjadi dua : 1) najis ‘Ainiyyah, yaitu najis yang rasa, warna atau baunya mampu terdeteksi oleh indra. 2) najis Hukmiyah, yaitu najis yang rasa, warna dan baunya sudah hilang (tidak terdeteksi oleh indra).


Cara Menghilangkan Najis

Cara mensucikan benda yang kena najis ada tiga macam, sesuai dengan tingkat berat-tidaknya najis :

Cara menghilangkan najis mughallazhah
Benda najisnya dihilangkan dulu, kemudian dibasuh sebanyak tujuh kali dan salah satu dari yang tujuh basuhan itu harus dicampur dengan debu. Apabila setelah tujuh basuhan itu najisnya masih belum hilang, maka tujuh basuhan tersebut dianggap satu basuhan dan harus menambah enam basuhan lagi.

Macam-macam najis Ma’fu

Pada dasarnya, najis ditubuh, pakaian dan tempat ibadah itu harus disucikan. Namun, apabila terlalu sulit untuk dihindari (umum al-Balwa) maka najis menjadi ma’fu, tidak mempengaruhi sahnya ibadah.
Diantara najis-najis yang dima’fu itu yakni :

  1. Lumpur jalan raya yang dipastikan najis, sekalipun najisnya bersumber dari najis mughallazhah, ibarat najisnya anjing atau babi.
  2. Najis-najis yang menutupi jalan umum yang biasa dilewati orang, ibarat kotoran binatang yang merata ada ditengah jalan.
  3. Air hujan atau sisa-sisanya yang bercampur dengan benda najis.
  4. Jalan menuju masjid yang banyak najisnya, kendatipun sumber najis itu karena sering ditiduri oleh anjing atau yang lain.
  5. Darah cantuk (pembekaman), suntik, luka-luka, dan infeksi yang diakibatkan oleh perbuatan orang lain (keluarnya darah bukan final pebuatannya sendiri).
  6. Darah sedikit yang berasal dari orang lain, asalkan bukan berasal dari najis mughallazhah.
  7. Darahnya kutu atau nyamuk baik sedikit atau banyak.
  8. Kotoran burung yang mengotori masjid. Kotoran ini menjadi ma’fu dengan syarat, merata pada seluruh tempat shalat, tidak basah baik dari mushalli atau najisnya, dan tidak ada unsur kesengajaan saat terkena najis itu.
  9. Kotoran burung yang ada disekitar tempat duduk masjid (kran air atau pancuran).
  10. Mulut anak kecil final muntah atau yang lain, kemudian menyusu dari tetek ibunya atau mengena benda yang lain maka najis ditetek ibu atau benda lain itu menjadi ma’fu.


b. Bersuci dari Hadats

Bagian yang kedua dari thaharah yakni bersuci dari aturan hadats. Sebagaimana bersuci dari najis, bersuci dari hadats juga harus dilakukan sebelum mengerjakan ibadah-ibadah tertentu ibarat shalat, thawaf, memegang al-Qur’an, dsb.

Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ (الاية)
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah muka kalian” ............ (QS al-Maidah : 6)
Bersuci dari hadats ada tiga macam, yaitu : Tayammum, wudhu’, dan mandi (ghasl).

Tayammum

Merupakan keringanan (rukhsah) dan kemurahan dari Allah yang hanya dianugrahkan kepada ummat nabi Muhammad SAW. Secara historik, tayammum disyariatkan pada tahun ke – 4 dari hijrahnya Rasulullah SAW.

Diriwayatkan dari imam Muslim, bahwa Siti Aisyah RA meminjam kalung kepada Asma’. Kalung itu kemudian hilang. Lalu Rasulullah menyuruh kepada beberapa orang shahabat untuk mencarinya. Ketika waktu shalat tiba, mereka mengerjakan shalat tanpa berwudhu’. Sekembalinya, mereka menceritakan hal itu kepada Nabi SAW. Tidak lama kemudian turunlah ayat tayammum yang berbunyi :

فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا .... (الاية)
“ ....... Maka bertayammumlah kalian dengan debu yang suci dan menyucikan”.

Pengertian tayammum secara bahasa (etimologi) yakni “sengaja berbuat”. Sedangkan dalam istilah syara’ (terminologi syara’) yakni mengusapkan debu ke wajah dan kedua tangan sebagai pengganti wudhu’ atau mandi.

Sebab-sebab bolehnya bertayammum

  1. Tidak ada air, atau ada tapi tidak cukup untuk dibuat wudhu’ atau mandi.
  2. Sebagian anggota tubuh yang wajib dibasuh terkena penyakit atau luka yang dilarang terkena air.



Keriteria penyakit
Penyakit yang mampu diperbolehkan untuk bertayammum yakni :

  1. Penyakit atau luka yang bertambah parah jikalau terkena air; mengakibatkan penyakit baru, atau lama untuk mampu sembuh, atau mengakibatkan cacat menurut dokter.
  2. Penyakit atau luka itu memerlukan pembalut sebagai pelindung ibarat patah tulang dan luka parah. Pembalut tidak mungkin untuk dibuka pada saat bersuci.


Syarat-syarat tayammum

  1. Yakin bahwa waktu shalat sudah masuk.
  2. Setelah masuk waktu shalat harus mencari air dahulu. Ketentuan ini tidak berlaku bila sudah yakin tidak ada air atau tayammumnya disebabkan sakit.
  3. Menghilangkan najis dari badan.


Pekerjaan fardhu tayammum
1. Memindah debu ke wajah dan kedua tangan.
2. Niat didalam hati bersamaan dengan memindah debu ke wajah. Contoh niat tayammum untuk ibadah fardhu :

نَوَيْتُ التَّيَمُّمَ لِاسْتِبَاحَةِ فَرْضِ الصَّلاَةِ
(Saya niat tayammum untuk diperbolehkan mengerjakan shalat fardhu).

نَوَيْتُ التَّيَمُّمَ لِاسْتِبَاحَةِ نَفْلِ الصَّلاَةِ
(Saya niat tayammum untuk diperbolehkan mengerjakan shalat sunnat).

3. Mengusap wajah dan kedua telapak tangan dengan tepukan tangan ke tanah: yang pertama untuk wajah dan yang kedua untuk kedua tangan.
4. Melakukan fardhu-fardhu diatas sesuai urutannya (tartib).

Hal-hal sunnat dalam tayammum

  1. Menghadap qiblat
  2. Bersiwak
  3. Tidak mengulangi usapan
  4. Cepat-cepat (langsung melakukan suatu pekerjaan tayammum setelah pekerjaan yang lain)
  5. Mendahulukan anggota kanan
  6. Mendahulukan wajah serpihan atas
  7. Menipiskan gumpalan debu ditelapak tangan dengan ditiup atau dikibaskan
  8. Melepas cincin pada tepukan pertama


Hal-hal yang membatalkan tayammum

  1. Semua hal yang membatalkan wudhu’
  2. Melihat/menemukan air atau memiliki asumsi ada air sebelum melakukan shalat.
  3. Murtad


Belum ada Komentar untuk "Tentang Thaharah Atau Bersuci"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel