Sakunung Seputar Dongeng Tanjung Pauh Pulang Kampung Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi

Repost dari  : Rizal_syan


Tanjung Pauh Mudik berlokasikan di Kabupaten Kerinci salah satu Kabupten yang terletak di wilayah Provinsi Jambi, nuansa nan elok dan panorama alam yang disuguhkan begitu indah mengakibatkan Kerinci sebagai salah satu tempat wisata di Provinsi Jambi
Tanjung Pauh Mudik itu sendiri terletak di kecamatan keliling danau kabupaten kerinci, dalam duduk problem dongeng rakyat  tanjung pauh pulang kampung memiliki banyak keunikan sendiri. dongeng unik yang diceritakan dari turun temurun diantaranya, sakunung, anok marayou, puti karadoik dll sebagainya,, di bawah ini yaitu sebuah dongeng perihal Sakunung dalam bahasa indonesianya artinya Bercerita Zaman Dulu Kala

Tulisan ini ditulis menurut hasil dari diskusi sambil dengan beberapa orang kawan dan observasi yang saya lihat di lingkugan Tanjung pauh Mudik. Tulisan ini sengaja di deskripsikan dengan gaya dongeng biar enak dibaca, apabila terdapat tempat, nama yang sama merupakan kebetulan belaka.
Selamat meinikmati

Suatu pagi di pinggir jalan depan mesjid Nurul Jalal Tanjung Pauh Mudik, tampaklah empat orang cowok yang sedang nongkrong di atas motor yang berjejeran di pintu masuk Mesjid. Pagi itu yaitu hari minggu, hari yang menyenangkan setelah seminggu lamanya kesibukan dunia kuliah mengisi waktu mereka. Dengan ditemani sebatang rokok yang masih belum habis yang dijepit di antara jari telunjuk dan tengah tangan kirinya, sentur berkata membuka pertemuan mereka yang rutin setiap minggunya sekedar untuk melepaskan penat kuliah mereka “lahh peran kuliah banyuk nyan lah. Duuh peran kuliah udah terlalu banyak” lirihnya sambil meghela asap rokok sempurna di tangan kirinya.

“Yang namanya peran ya di buatlah” jawab Ahmad dengan santai.

“udah malas saya buat peran dari dosen tu lagi, peran yang dah dibuat ngak pernah diperiksa “ tambah sentur yang mukanya sekrang berubah agak kecewa.

Ditengah asik mereka membahas duduk problem kuliah, tiba-tiba lewatlah seorang gadis yang mau pergi kebalai dari lorong SMP yang kira-kira terletak 500 m di sebelah kurang cerdik lokasi nongrong mereka. Cewek ini berparas putih dengan pipi merah jambu, bibir sedikit merekah yang nampak gincu bewarna bening menempel disana. Dengan baju bewarna kuning punai ditemani rok selutut dengan motif mawar yang di dominasi warna ping. Dari dalam rok itu muncullah dua buah kaki yang dibalut seksi oleh celana lejing hitam panjang hingga ke mata kaki. Matanya sipit menambah pesona cewek bak ibarat sinar bintang kejora yang menembus kegelapan awan malam. 

“hoi paulin lewat tuh..!!” teriak Abdul yang sedang bengong ntah memikir apa.

Ya… Paulin, begitulah nama cewek bertangan seputih lilin itu. Cewek itu berjalan terus ke hilir dan meninggalkan kelompok ini yang sedang kelepek-kelepek ketika Paulin melintas di depan mereka.

“wah elok nian si Paulin itu, siapa pacarnya kini ya,,?” ketus Muttaqin sambil mengaruk-garuk kepalanya. “kok cewek-cewek di Tanjung Pauh Mudik ini cantik-cantik semua ya? Matanya sipit, kulitnya putih, agak rendah, dan hidungnya gak terlalu mancung” tambah muttaqin dengan penasaran.

“O ia, hari jumat kemaren kami berguru sejarah kerinci di salah satu mata kuliahku semester ini, menurut literatur yang saya temukan, kita yang dari Tanjung Pauh ini berasal dari Ras Astronesia di Taiwan, mereka melakukan perjalanan ke arah Indonesia melewati Thailand, Malaysia, terus ke Riau dan sampailah mereka di Kerinci. Ada lagi sebagian kelompok ini berlayar hingga ke Madagaskar ke Afrika sana” terperinci Sentur dengan semangat.

“itu makanya Orang Tanjung Pauh agak ibarat dengan orang-orang Cina ya?” ahmad mencoba menganalisis.

“betul sekali, coba liat daerah-daerah ibarat Riau, Thailand, Malaysia, dan bandingkan dengan kita orang-orangnya agak mirip-miripkan? Itu tandanya kita berasal dari ras yang sama, mungkin mereka yang di Madagaskar sana juga agak-agak ibarat dengan kita, masalahnya kita ngak pernah ketemu sama mereka” lanjut Sentur panjang lebar.

“apa gerangan kok bisa nyasar hingga ke Tanjung Pauh ya?” Tanya Muttaqin dengan penuh penasaran.

“ngak tau juga mengapa ia hingga disini, menurut ceritanya, mereka tersesat di talang intah (nama sebuah lokasi yang jauh di atas bukit desa Tanjung Pauh Mudik), di atas sana, kemudian mereka mengelip-ngelipkan cahaya dengan menggunakan kaca ke arah danau sana, yang kini kita kenal dengan Senggarang Agung, coba lihat orang-orang senggarang agung, agak mirip-miripkan jugakan dengan orang Tanjung Pauh Mudik, tu disebabkan keturunan kita sama, tapi kita ada darah Astronesianya” terperinci Sentur lagi.

“kenapa pake cermin segala sih, ngak ada alat yang lain apa yang lebih keren dikit?” Tanya Abdul, sambil memungkukkan badannya kedepan menerangkan ia sangat tertarik sekali dengan dongeng ini.

“waktu itukan belum ada alat komunikasi ibarat kita sekarang, jadi mereka menggunakan kilat cermin untuk member instruksi kepada orang lain,”

“Ooo… terus, terus” buru Abdul masih ingin tau dengan kelanjutan ceritanya.

“terus mereka bertemu dan bekeluarga, kemudian mereka mendirikan pondok-pondok di larik wow (sebuah lorong yang di percayai sebgai lorong yang pertama di Tanjung Pauh Mudik). Semakin lama mereka semakin berkembang dan banyak, sehingga sebagian mereka membuka lahan pertanian. Pada Awalnya mereka berkembang ke arah Sungai Batang Merao, karena mereka membutuhkan air, baik untuk pertanian maupun untuk program rumah tangga ibarat memcuci, memasak dan lain-lain” lanjut Sentur cukup panjang.

“Ooo..dengan berkembangnya jumlah penduduk, maka mereka mencari tempat gres untu menetap, sehingga muncullah larik-larik lainnya sepeti larik mudik, koto dumu, larik solok dan larik lindung yang bersampingan dengan larik wow ini ya” Ahmad mencoba menganalisis.

“ya benar sekali, pada awalnya kehidupan beralangsung di dusun ini saja, gres setelah penduduknya rapat dan penuh barulah sebagian mereka pindah ke pecahan atas. Coba bandingkan rumah di dusun dengan yang di atas, bedakan?” Tanya sentur.

“kalaw menurut saya sih untuk daerah dusun sana ngak perlu di renovasi atau dibangun ulang lah rumahnya, biar kita punya perjalanan sejarah yang baik, di atas di dominasi rumah modern, sedangkan di dusun didominasi rumah-rumah tradisonal, kan suatu sentuhan yang sangat bagus, lagian kita bisa jadikan rumah-rumah tradisional ini sebagai aset wisata untuk mereka yang berjiwa tradisionil. Lagian para orang modern juga tidak selalu senang dengan kemajuan, orangpun punya titik jenuh, tu makanya orang-orang turis lebih suka tempat-tempat tradisonal ibarat Jogya, Bali iya kan. Coba bayangkan dalam satu daerah terdapat dua lokasi yang kontras, di pecahan dusun berjejer bangunan tradisional sedangkan di pecahan atasnya berjejer pula bangunan modern, wahh…suatu perpaduan yang sangat jarang, pasti menjadi unik” terperinci Sentur sambil mengelap peluhnya yang mulai keluar.

“tapi masalahnya mereka yang tinggal di dusun itu ngak mau di cap sebagai orang ketinggalan, itu makanya mereka ikut membangun rumah yang gres iya kann..” analisis Abdul mulai keluar.

“benar sekali dul” jawab Sentur dengan senang, penjelasannya sanggup diterima dengan baik oleh teman-temannya.

“tapi yang membuat saya heran, mengapa orang Tanjung Pauh Mudik ini banyak sekali punya sawah ya?, ibarat lamadi, khu, ujow, kurang cerdik usong, ili usong, pelok sensow, tanoh untoh, umow jalon barrow,umow lubok, ndu takumpo dan sebagainya. Sehingga orang-orang dari desa tetanggapun berdatangan ketika kita sedang menuai atau menyabit padi kita, apakah orang-orang ini gak punya sawah apa?” Tanya Mutaqin secara kritis.

“mungkin nenek moyang kita dulu bekerja membuka lahan dengan rajin sehingga kita memiliki sawah yang banyak, hingga kini ia kan.”

“bukannya mereka ngak punya sawah, ibarat yang saya pernah dengar desa tetangga kita debai dulu bergabung dengan kita Tanjung Pauh Mudik, ntah karena duduk problem apa mereka memisahkan diri dari Tanjung Pauh Mudik, jikalau mereka pindah, mereka ngak ikut giliran menggarap sawah lagikan, karena sawah itu milik kita, itu sebabnya mereka ngak punya sawah, bukan ngak punya sih tapi sedikit.” analisis Sentur. 

“dengan hidup kaya ibarat ini, saya merasa ada kebiasaan yang buruk pada Tanjung Pauh Mudik ini” keluh Sentur.

“apa itu? “ buru Ahmad dengan ceplos.

“ada dua hal yang membuat kebiasaan Tanjung Pauh ini menjadi negatif. Yang pertama, dengan banyaknya kita memiliki sawah, kita hanya fokus untuk megurus itu saja, sehingga membuat kita jarang keluar daerah, ngak tau perkemabangan di daerah orang lain. Dengan ibarat ini saya takutnya kita ibarat katak dalam tempurung yang Cuma mengandalkan kemampuan kita hanya di dalam saja, tidak melihat perkembangan orang lain. Kan agama kita juga menyruh kita untuk berhijrah, artinya keluar daerah dan berguru disana kemudian mengaplikasikan ilmu yang di sanggup untuk kemajuan negeri. jikalau kita keluarkan kita juga bisa membandingkan bagaimana kita dengan orang lain, saya rasa itu merupakan pelajaran yang baik untuk mengembangkan kreativitas melalui berguru dari daerah atau budaya lain” jawab Sentur dengan agak lemas.

“menjaga hartakan juga anjuran Agama Sen,” Tanya mutaqin coba menyanggah.

“iya benar.. Tapi coba pikirkan, dulu memang sawah sangat berarti. Coba liat sekarang, penduduk sudah padat, hanya mengandalkan sawah saja saya rasa ngak cukup untuk hidup kedepan yang keadaan ekonominya semakain keras, saya takutnya kita akan menjadi desa yang miskin jikalau hanya mengandalkan sawah saja, tapi syukurlah kemaren banyak orang Tanjung Pauh Mudik yang lulus ikut PNS”. Sedikit senyum terbit di sudut verbal Sentur. 

“yang keduanya?” buru abdul.

“yang kedua nihh yang bahaya, apalagi kita generasi muda. Seperti ini, dulu sawah kita kan banyak, penggarapannyapun bergiliran dalam sebuah keluarga, dengan tidak belehnya orang luar ikut menggarap sawahnya, orang-orang tua masa dulu melarang anaknya menikah dengan daerah lain, daerah tetanggapun ngak sanggup restu apalagi mau nikah dengan orang jawa, minang atau daerah lainnya. Pelarangan itu yang terus-menerus ditetapkan leh orang tua dahulu lama kelamaan menjadi kebiasaan, dari kebiasaan menjadi norma, dari norma berkembang pula menjadi budaya, coba pikirkan bagaimana sulitnya untuk menghapus sebuah budaya dari suatu daerah, buktinya coba liat orang-orang Tanjung Pauh Mudik menikah dengan orang luar, sangat jarangkan. Yang kasian juga orang yang terlanjur cinta pada orang lain, dia pasti akan menghadapi kisah cinta yang sedih” terperinci Sentur dengan suara yang menjorok ke dalam, karena ia juga terkait cinta dengan orang minang.

Tidak lama kemudian terdengarlah azan zuhur yang memekik dari corong mesjid yang bertengger di atas menara setinggi 6 lantai, kemudian mereka berempatpun bubar dengan sepeda motor mereka masing-masing. 

“kita diskusi lagi jam dua nanti ya..??” sahut Ahmad sambil memutar habis gas motor supra nya. BUMMMMM….!!!

Belum ada Komentar untuk "Sakunung Seputar Dongeng Tanjung Pauh Pulang Kampung Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel