Taqlid Dan Madzhab

 berarti kita berbicara mengenai potongan yang sangat urgen dalam kehidupan kita ini Taqlid dan Madzhab

Apa dan Bagaimana Taqlid ?

Pendahuluan

Berbicara wacana taqlid, berarti kita berbicara mengenai potongan yang sangat urgen dalam kehidupan kita ini. Sebab, bagaimanapun mengetahui tatacara ‘bermakmum’ kepada salah satu mujtahid (taqlid) merupakan sebuah kebutuhan yang tidak bisa dihindari oleh orang yang masih belum memiliki otoritas untuk berijtihad.

Melakukan amal keagamaan dengan tanpa mengikuti petunjuk seseorang yang pantas diikuti (mujtahid), secara tidak langsung berarti menjerumuskan diri ke dalam kubangan kesesatan.
Pola mujtahid-muqallid (ada yang diikuti dan ada yang mengikuti) dianggap penting untuk mengantarkan proses korelasi vertikal yang lurus dan benar antara hamba dan yang kuasa atau hamba dengan hamba. “Man qallada ‘Aliman laqiya Allah Saliman”, barangsiapa mengikuti orang ‘alim maka ia akan menjumpai tuhannya dalam keadaan selamat.

a. Definisi Taqlid

Bila dipahami dengan menggunakan pendekatan bahasa, taqlid berarti perbuatan mengikuti. Kata ini merupakan bentuk masdar dari kata qallada yang artinya mengikuti. Orang Arab biasa mengatakan, “qallada fulan fulanan” untuk mengungkapkan makna “si fulan mengikuti fulan yang lain”.
Secara terminologis, arti taqlid telah dirumuskan oleh ulama ushul fiqih, adalah : mengikuti pendapat seorang tanpa mengetahui dasar-dasarnya.

Dalam Islam, taqlid dibagi menjadi dua :
Pertama, taqlid dalam dilema teologi (Ushuluddin/keyakinan pokok), menyerupai meyakini (iman) keberadaan yang kuasa dan meyakini bahwa alam semesta merupakan benda yang bermula (baru). Keyakinan semacam ini, tidak boleh sekedar ikut-ikutan, tidak dilandasi dengan dalil (al-Qur’an-Hadits) atau dengan proses berfikir (nadzar) yang mengantarkan dirinya meyakini kebenaran ini.
Jadi, taqlid dalam dilema iktikad semacam ini tidak dibenarkan. Menurut pendapat terpilih (al-qawl al-mukhtar), iktikad yang hanya berlandaskan taqlid dianggap tidak sah. Namun, ada pendapat lain (qiil) yang menyatakan sudah dianggap cukup.

Kedua, taqlid dalam urusan ibadah, menyerupai mengikuti salah satu pendapat ulama (mujtahid) yang pendapatnya sudah dibukukan dan beredar (mudawwan) dengan tanpa mengetahui dalil aslinya, baik yang berupa al-Qur’an maupun Hadits. Taqlid semacam ini, menyerupai yang telah disepakati oleh ulama empat madzhab, merupakan sebuah keharusan bagi setiap orang yang tidak memiliki kemampuan untuk menggali aturan fikih dari teks al-Qur’an dan Hadits.
Mengenai hal ini Allah menegaskan :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَاتَعْلَمُوْنَ

b. Hukum bertaqlid

Seperti yang telah disinggung diatas, orang yang masih belum mencapai tingkat mujtahid, ia harus mengikuti salah satu ulama yang sudah masuk dalam kategori mujtahid muthlaq, menyerupai Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal.

Sebagian ulama ushul fikih ada yang menyatakan bahwa secara umum dikuasai ulama oke bahwa mujtahid muthlaq itu sudah tidak ditemukan lagi pada periode sekarang. Pendapat ini senada dengan apa yang telah ditegaskan oleh Ibnu Hajar bahwa sesudah periode Imam Syafi’i sudah tidak pernah ditemukan lagi seorang mujtahid mustaqil.

Dalil yang memberikan bahwa orang awam wajib bertaqlid kepada seorang mujtahid yakni firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 83 :
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ
Artinya : “dan bila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri)”.

Orang yang sanggup menetapkan kesimpulan (istinbat) hanyalah orang-orang yang punya keahlian berijtihad.

Menurut pendapat yang paling benar (qawl ashah), seseorang yangmengikuti madzhab tertentu, ia harus meyakini keunggulan madzhab yang diikutinya dibanding madzhab lain, atau paling tidak ia meyakini bahwa madzhab yang diikutinya tidak kalah unggul dibanding madzhab yang lain. Meski demikian, seseorang yang sudah mengikuti madzhab tertentu ia tetap diperbolehkan berpindah dari madzhab asalnya ke madzhab yang lain, asal ia mengikuti prosedur dan aturan perpindahan madzhab.

c. Syarat taqlid

Orang yang bertaqlid kepada madzhab tertentu diharuskan mengikuti ketentuan sebagai berikut :

  1. Harus mengetahui secara utuh aneka macam ketetapan (tehnik) imamnya dalam kasus yang diikuti, menyerupai syarat dan hal-hal yang wajib. Misalnya : bila ada orang yang hendak mengikuti madzhab Hanafi bahwa persentuhan kulit lawan jenis yang bukan mahram tidak membatalkan wudhu’ sekalipun syahwat, maka orang tersebut harus mengetahui aneka macam kewajiban yang telah ditetapkan oleh Imam Hanafi dalam potongan wudhu’, menyerupai mengusap kepala seukuran ubun-ubun, tidak boleh ada darah yang mengalir dari tubuhnya, dan beberapa syarat lainnya.
  2. Taqlid tidak dilakukan sesudah pelaksanaan. Misalnya : Amin yakni orang yang bermadzhab Syafi’i. Diwaktu siang bulan Ramadhan, ia ingat bila malam harinya ia tidak berniat puasa, padahal niat pada waktu malam menurut madzhab Syafi’i yakni wajib. Akhirnya, pada siang itu ia pindah madzhab Maliki yang memberikan niat waktu malam tidak wajib. Taqlid semacam ini hukumnya khilaf.
  3. Syarat yang kedua ini boleh dilakukan bila tidak ada unsur kesengajaan atau tidak tahu aturan dalam madzhabnya. Tidak mengambil pendapat yang murah-murah. Artinya, muqallid tidak boleh mengambil pendapat yang murah dari aneka macam madzhab. Misalnya : pada ketika tidak ditemukan sarana bersuci (tidak air dan debu/yang ada hanya batu), Sufyan meninggalkan tayammum sebab pendapatnya Imam Syafi’i. Kemudian ia meninggalkan shalat serta tidak mengqadhainya menurut pendapatnya Imam Malik. Taqlid semacam itu tidak diperkenankan.

Dalam kasus itu, menurut Madzhab Syafi’i, tidak usah melakukan wudhu’ /tayammum, sebab menurut Syafi’i sarana bersuci itu hanyalah air dan debu. Dan mestinya Sufyan melakukan shalat li hurmat al-waqt (menghargai waktu).

Sedangkan menurut madzhab Maliki, Sufyan itu tetap berkewajiban bersuci dengan cara bertayammum dengan menggunakan kerikil sebab menurut Maliki kerikil merupakan sarana bersuci. Disisi lain Maliki menyatakan bahwa bila sarana bersuci sudah tidak ada maka seseorang tidak wajib shalat juga tidak wajib mengqadhainya.

Tanbih :
Dalam kitab al-Khadim dijelaskan bahwa orang yang terkena penyakit waswas dianjurkan mengambil pendapat yang murah. Hal ini bertujuan semoga waswasnya tidak semakin bertambah.
Sementara, dalam keadaan normal (tidak waswas) sebaiknya mengambil pendapat yang berat-berat semoga tidak ada kesan terlalu melalaikan/menyepelekan.

  1. Imam yang diikuti harus mujtahid, baik mujtahid muthlaq menyerupai Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, atau mujtahid muntasib (mujtahid yang masih berhubungan kepada madzhab tertentu) menyerupai Imam Rafi’i, Imam Nawawi, Imam Ramli, dan Ibnu Hajar, kecuali bila pendapat mereka sangat dha’if sekali.
  2. Tidak boleh talfiq, adalah mencampur dua pendapat imam dalam satu dilema aturan (qadliyyah), yang pada akhirnya, apa yang dilakukan itu sama-sama tidak diakui oleh masing-masing imam. Misalnya : dalam berwudhu’, Muiz mengikuti madzhab Syafi’i yang memberikan cukup mengusap sebagian kepala. Setelah itu, Muiz menyentuh perempuan yang bukan mahramnya tanpa syahwat, mengikuti Imam Malik.  Setelah itu, Muiz shalat. Taqlid semacam ini, hukumnya tidak diperbolehkan, sebab menurut Imam Syafi’i menyentuh permpuan yang bukan mahram sanggup membatalkan wudhu’, sementara menurut Maliki wudhu’nya tidak sah, sebab menurut Maliki wudhu’ harus mengusap seluruh potongan kepala (rambut). Jadi, baik menurut Syafi’i atau Maliki, Muiz sama-sama tidak boleh melakukan shalat.
  3. Hukum yang diikuti tidak berupa pendapat yang tidak boleh dijadikan keputusan aturan oleh qodhi. Artinya, seandainya qodhi menetapkan suatu permasalahan dengan aturan tersebut maka keputusan itu harus dibatalkan, sebab menyalahi nash, ijma’ dan qiyas jali. Contoh : qodhi menetapkan suatu kebijakan dengan mengikuti pendapat Dawud al-Zhahiri dalam hal bolehnya memainkan alat al-malahi (alat musik yang dilarang), atau kawin tanpa wali dan saksi, maka kita tidak diperbolehkan mengikuti pendapat tersebut, sebab menyalahi nash.


Taqlid Kepada Selain Madzhab Empat

Hukum-hukum bertaqlid kepada selain madzhab al-arba’ah ada dua pendapat :
Pertama : menurut secara umum dikuasai ulama muta’akhiriin dan muhaqqiqiin hukumnya tidak boleh, sekalipun ulama yang diikuti yakni tokoh-tokoh shahabat, sebab madzhab mereka tidak mudawwan (terbukukan). Oleh sebab itu, tidak boleh diikuti atau dijadikan pedoman hukum.

Kedua : menurut sebagian ulama, boleh mengikuti (taqlid) kepada selain madzhab empat asalkan sudah mudawwan dan hanya untuk diamalkan sendiri (tidak untuk difatwakan kepada orang lain).

Belum ada Komentar untuk "Taqlid Dan Madzhab"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel